Objektif dan Subjektif: Apa Bedanya? Lebih Baik Mana?

Fataya.co.id – Teman-teman pasti menyadari, diskusi atau pertukaran argumentasi merupakan bagian dari interaksi yang umumnya melibatkan berbagai individu hingga kelompok tertentu. Secara umum sikap dalam berdiksusi terdapat dua yaitu objektif dan subjektif

Secara khusus, peran argumentasi adalah bahan pertimbangan untuk mengambil keputusan. Banyaknya argumentasi akan memudahkan manusia untuk melihat masalah dari berbagai sudut pandang, sehingga makin luas pula solusi atau jalan keluar yang ditawarkan.

Argumentasi setidaknya dipengaruhi dua hal, yaitu data fakta dan pandangan pribadi. Masing-masing faktor menentukan objektivitas atau subjektivitas pemilik argumentasi.

Saat bertukar pendapat, pemilik argumentasi akan memilih untuk bersikap objektif atau subjektif.

Lantas, apakah yang dimaksud dengan sikap objektif dan subjektif?

Seperti apa perbedaannya?

Melalui artikel ini, kami akan kenalkan teman-teman lebih dalam pada sikap objektif dan subjektif.

Table of Contents

Pengertian Sikap Objektif dan Subjektif

Objektif dan Subjektif

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), objektif adalah mengenai keadaan yang sebenarnya tanpa dipengaruhi pendapat atau pandangan pribadi.

Sikap objektif adalah sikap yang dapat diprediksi karena bersifat sangat pasti. Sikap ini lebih bisa diyakini keabsahannya.

Pada dasarnya, semua orang harus belajar bersikap objektif pada situasi yang membutuhkan objektivitas.

Setiap individu harus belajar menyusun argumentasi tanpa terlalu banyak mencampurkan sisi emosional dalam pendapatnya.

Dengan begitu, argumentasi yang dihasilkan menjadi efektif, netral, dan solutif. Namun, pada praktiknya hal itu sangat susah dilakukan.

Orang yang bersikap objektif berarti memiliki objektivitas. Dengan menerapkan sikap objektif, teman-teman akan mengetahui situasi mana yang harus mengedepankan data dan fakta.

Salah satu situasi yang menuntut objektivitas adalah keilmuan. Objektivitas atau sikap objektif dalam keilmuan diartikan sebagai upaya untuk menangkap sifat alamiah / empiris pada objek penelitian.

Menurut Zenius.Net, objek penelitian tidak hanya sekadar dipelajari, tetapi diteliti tanpa bergantung pada vasilitas apapun dari subjek yang menyelidikinya.

Dengan kata lain, keobjektifan tidak seharusnya berpihak, di mana sesuatu yang ideal dapat diterima oleh seluruh pihak.

Dalam semua konteks. subjektivitas menyajikan pernyataan yang tidak didasari asumsi, perkiraan, prasangka, ataupun nilai-nilai yang melekat pada subjek tertentu.

Sikap subjektif adalah sikap yang berlawanan dengan objektif. Menurut KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia), subjektif adalah pandangan atau prasangka sendiri, tidak langsung mengenai pokok atau hal.

Sikap ini mengacu pada keadaan di mana seseorang menyusun ide atau pikiran yang berdasarkan hasil menduga-duga, sangkaan, perasaan, selera, serta penilaian pribadi.

Sama seperti sikap objektif yang memiliki objektivitas, sikap subjektif juga punya unsur subjektivitas.

Subjektivitas dapat dipahami sebagai upaya menuangkan perasaan pribadi, perkiraan, atau sangkaan ke dalam suatu pendapat. Subjektivitas tidak mempertanggungjawabkan keabsahan apapun.

Sikap ini tidak diambil berdasarkan hal-hal yang bersifat factual dan terpercaya.Segala macam pandangan yang bersifat subjektif tidak dapat dipertanggungjawabkan dengan bukti data.

Oleh karena itu, subjektivitas hanya bisa diberlakukan di luar keilmuan. Dalam keilmuan, subjektivitas merupakan sikap yang wajib dihindari.

Data dan fakta tidak diperkenankan bercampur dengan keberpihakan, perkiraan, ataupun prasangka pribadi.

1. Contoh Sikap Objektif 

Sikap objektif dicontohkan dengan sangat konkret oleh peneliti. Berprofesi sebagai peneliti artinya mampu memisahkan antara fakta dan pendapat pribadi.

Dengan objektivitasnya, peneliti membuat simpulan yang sesuai dengan fakta lapangan maupun fakta pustaka.

Tak kalah dengan peneliti, penyunting berita juga menyontohkan sikap objektif. Sebagai editor, tugasnya hanya menyunting sesuai dengan batas-batas yang ditetapkan dalam ilmu penyuntingan.

Saat menyunting, penyunting harus mengerjakannya dengan tetap mempertahankan netralitas. Penyunting tidak berhak memasukkan keberpihakannya ke dalam naskah berita yang disunting.

2. Contoh Sikap Subjektif

Pernahkah teman-teman mengulas produk? Misalnya mengomentari isi buku, film, makanan, skincare, sampai aplikasi. Jika ulasan produk diberikan berdasarkan pengalaman pribadi setelah menggunakannya, maka teman-teman sedang menunjukkan sikap subjektif.

Barangkali, teman-teman juga pernah merekomendasikan produk ke orang lain. Tindakan tersebut juga menunjukkan subjektivitas.

Sesuatu yang layak menjadi rekomendasi bagi seseorang, belum tentu sama layaknya menurut pandangan individu yang lain. Menilai kelayakan juga merupakan tindakan yang subjektif.

Contoh-contoh lainnya dapat ditemukan di kehidupan sehari-hari. Tindakan memuji, misalnya. Menilai cantik atau tampan. Tidak ada data yang mengukur standar kecantikan ataupun ketampanan seseorang, juga tidak ada fakta yang membuktikan kebenarannya.

Penilaian cantik dan tampan didasari preferensi pribadi yang tidak sama pada tiap-tiap orang, sehingga hal tersebut dapat dikategorikan sebagai subjektivitas.

Sikap Objektif dan Subjektif: Apa Bedanya?

Objektif dan subjektif tentu saja dua sikap yang berbeda. Dapat dilihat dari pengertian dan contoh-contohnya, kedua sikap ini terbukti berlawanan.

Untuk melihat lebih jelas antara keduanya, berikut kami paparkan lima hal dasar yang sangat membedakan.

  • Pernyataan objektif dilandasi pemikiran yang realistis, sementara pernyataan yang subjektif didasari oleh landasan berpikir seseorang (dari opininya), yang lantas dijadikan tolak ukur suatu peristiwa, informasi, dan keputusan.

Pernyataan yang objektif dinyatakan atas dasar fakta, dikeluarkan atas dasar kebenaran yang valid. Tak jarang, pernyataan objektif dibagikan setelah adanya proses pengamatan yang memakan waktu. Namun, hal tersebut tidak berlaku saat teman-teman bersikap subjektif.

Segala bentuk pernyataan yang subjektif bisa saja hanya berdasarkan “katanya”. Bisa juga didasari preferensi pribadi, dugaan, sangkaan dan lain sebagainya. Hal-hal tersebut kemudian mempengaruhi keputusan seseorang.

Misalnya, menggunakan contoh rekomendasi produk tadi. Seseorang bilang produk tersebut tidak memiliki kualitas yang baik.

Teman-teman bisa langsung enggan membeli produk yang dimaksut setelah mendengar “katanya” (kata orang yang menilai kualitas produknya).

  • Keputusan yang bersifat objektif bertujuan memilih tindakan paling tepat dan dapat dipertanggungjawabkan, sehingga tidak merugikan siapapun di kemudian hari. Namun, keputusan subjektif hanya mementingkan keberpihakan.

Sifat objektif benar-benar pantang memihak. Sifat ini berorientasi pada penyelesaian masalah yang logis dan teratur dengan baik. Lain dengan sifat objektif, subjektivitas menaruh perhatian lebih pada penyelesaian masalah yang mengesampingkan sikap netral.

  • Perbedaan berikutnya, objektif memiliki sudut pandang yang mencakup kondisi asli, sementara subjektif mengacu pada sudut pandang pribadi yang tidak dapat terjamin akurasinya.

Sikap objektif dan subjektif juga dapat membedakan hasil laporan. Hasil laporan yang objektif tentu terjamin keasliannya, karena laporan disampaikan berdasarkan kejadian asli yang ada.

Di sisi lain, laporan yang disampaikan dengan subjektivitas tidak memiliki akurasi yang terjamin karena sudah disisipi pandangan pribadi. Guna menghindari disinformasi, suatu laporan harus dibuat dengan sikap objektif.

  • Pernyataan yang objektif dan subjektif juga membawa perbedaan reaksi.

Perbedaan objektif dan subjektif juga bisa dilihat dari dampak yang dihasilkan. Pernyataan objektif selalu berdampak pada peningkatan pengetahuan, karena didasari data-data yang valid dan bukti-bukti yang kuat.

Pernyataan yang subjektif bisa saja menimbulkan masalah baru, tergantung situasi dan kondisi saat pendapat diutarakan.

Biasanya, masalah baru timbul karena terlalu banyaknya opini pribadi yang menjadikan sikap subjektivitas sebagai cara untuk menjatuhkan golongan tertentu.

  • Objektivitas dan subjektivitas juga dapat dibedakan melalui pemilihan diksi. Berikut contohnya.

Pernyataan yang bersifat objektif seringkali disampaikan dengan diksi yang meyakinkan. Tujuannya, agar pendengar tahu bahwa pemilik pernyataan tidak perlu diragukan lagi.

Kata-kata yang meyakinkan antara lain benar, pasti, tidak benar dan lain sebagainya. Kebenaran biasanya disampaikan dengan kata-kata yang menegaskannya.

Sementara itu, sikap subjektif biasanya digambarkan dengan diksi yang tidak menunjukkan kepastian. Pernyataan subjektif pun sangat kecil untuk dipercaya akurasinya.

Kata-kata yang tidak menunjukkan kepastian antara lain menurut pendapat saya, menurut pandangan saya, sepertinya, umumnya, hingga biasanya.

Apabila disampaikan dengan diksi yang demikian, membuat orang berpikir ulang untuk mempercayainya mentah-mentah.

Bersikap Objektif: Salahkah?

Menurut Zenius.net, bersikap objektif artinya menyadari bahwa keberadaan kondisi sosial merupakan bagian tak terpisahkan dari pengalaman kehidupan manusia itu sendiri.

Sikap ini digunakan untuk meneliti sifat dari uraian atau pernyataan apapun, apakah fakta atau bukan, apakah bisa dippercaya atau tidak.

Alih-alih menjadi salah, sifat objektif justru sangan diperlukan. Sebab, realita dan data yang jelas sangat diutamakan dalam objektivitas.

Sikap ini juga baik untuk membentuk kerangka berpikir yang sistematis, melatih berpikiran kritis, dan membiasakan manusia untuk lebih tajam dalam hal menganalisis.

Meskipun objektivitas sama sekali tidak salah, teman-teman perlu menempatkannya dengan pas. Saat membuat artikel ilmiah, misalnya.

Teman-teman harus tahu bahwa objektivitas sangat dibutuhkan dalam pembuatan artikel tersebut. Maka, lampirkan data-data yang valid dan jauh dari prasangka individu manapun,.

Akan tetapi, jangan terlalu fanatik pada objektivitas juga. Saat teman-teman diminta berdiskusi tentang sebuah film, jangan memaksa orang lain memberikan data tentang bagus atau tidaknya cerita dari film tersebut. Sebab, penilaian yang demikian memang seharusnya bersifat subjektif, bukan objektif.

Bersikap Subjektif: Salahkah?

Subjektif adalah sikap yang berkaitan dengan keyakinan bahwa terdapat kondisi sosial tertentu yang berbahaya bagi masyarakat, sehingga sangat penting untuk diatasi.

Atas dasar keyakinan itu, opini dikategorikan subjektivitas yang membantu mencapai kata mufakat. Dengan demikian, jelas bahwa sikap ini juga positif dan penting, sepenting sikap objektif.

Seperti yang telah teman-teman pelajari, subjektivitas hanya didasari pandangan-pandangan pribadi yang memiliki banyak perbedaan di setiap individu.

Apabila terlalu subjektif, sikap ini juga bisa menyebabkan perpecahan dan berbagai macam konflik. Oleh sebab itu, sangat penting untuk menempatkan sikap ini secara presisi.

Demikian paparan kami seputar sikap objektif dan subjektif. Melalui paparan di atas, teman-teman mengetahui bahwa sikap objektif dan subjektif memang dua hal yang sangat berlawanan, tetapi bukan berarti mereka berdua besebrangan.

Tidak ada sikap yang lebih buruk ataupun lebih baik. Keduanya baik, asal disesuaikan dengan situasi dan kondisi.

Kedua sikap tersebut dapat digunakan untuk menyusun argumentasi. Argumentasi yang objektif diambil berdasarkan data, fakta, keaslian kondisi serta realita, sedangkan argumentasi yang subjektif disusun berdasarkan penilaian, sangkaan, dugaan, perasaan, dan selera personal.

Demikian informasi terkait sikap objektif dan subjektif. Semoga informasi yang disampaikan bermaanfaat bagi pembaca

Salam Literasi – fataya. Media

asuransi syariah, life insurance, car insurance, student insurance

Be the first to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published.


*