hukum syara'

Kupas Tuntas Hukum Syara: Mengapa Penting dalam Kehidupan Sehari-hari?

Diposting pada

fataya.co.id – Hukum Syara, Sebagai umat Islam, kita tentu ingin beribadah sesuai dengan aturan yang diberikan oleh Allah SWT.

Hukum-hukum Allah telah ditetapkan dalam kitab-kitab yang diturunkan-Nya dan melalui nabi, rasul, serta wali yang diturunkan ke bumi.

Segala puji bagi Allah Rabb semesta alam, semoga shalawat dan salam senantiasa terlimpah kepada Nabi Muhammad, keluarganya, para sahabat, dan para pengikutnya.

hukum syara'

Table of Contents

Pengertian

Secara bahasa, hukum berarti Al-Qadha’ (القضاء) yang berarti keputusan. Sedangkan pengertian hukum syara’ secara istilah adalah :

هو خطاب الشارع المتعلق بأفعال المكلفين، طلباً أو تخييراً، أو وضعاً

Artinya: “Adalah titah syariat yang berkaitan dengan perbuatan mukallaf, baik berupa tuntutan, pilihan, dan peletakan”.

Hukum syara dapat berarti sebagai apa-apa yang telah ditetapkan oleh titah syariat, yaitu Alquran dan Sunnah.

Selanjutnya, Hukum syra’ berkaitan dengan perbuatan mukallaf baik berupa perkataan atau perbuatan dalam melakukan atau meninggalkan sesuatu.

Selain itu, hukum syara berkaitan dengan perbuatan mukallaf baik itu perkataan atau perbuatan berupa melakukan atau meninggalkan sesuatu. Dan ia tidak ada kaitannya dengan keyakinan atau akidah.

Mukallaf yang dimaksud dalam definisi tersebut adalah siapa saja yang keadaannya dibebani syariat, termasuk anak kecil dan orang gila.

Salah satu yang harus dipahami oleh seorang muslim adalah hukum syara’. Hukum syara’ merupakan nama hukum yang disandarkan pada syariat atau syariah. Yakni, suatu ketentuan yang berasal dari Allah SWT dan Rasul baik dalam bentuk tekstual ataupun hasil pemahaman ulama.

Oleh sebab itu, hukum syara’ juga dapat dikatakan berasal dari Alquran dan Hadis.

Pembagian Hukum Syara’

Sebagaimana definisi hukum syara’ di atas, maka hukum dapat kita ketahui bahwa hukum syara’ terbagi menjadi dua yaitu : Taklifi dan Wadh’i

A. Hukum Taklifi

Pengertian Hukum Taklifi, Hukum taklifi adalah tuntutan yang dibebankan kepada mukallaf untuk mengerjakan atau meninggalkan suatu pekerjaan, dan pilihan antara mengerjakan atau meninggalkan suatu pekerjaan.

Pembagian Hukum Taklifi Beserta Contohnya :

1. Wajib

Hukum taklifi yang pertama adalah wajib. Wajib adalah sesuatu yang diperintahkan oleh pembuat syariat yang harus dikerjakan.

orang yang melaksanakan perkara wajib akan diberi ganjaran dan berhak mendapatkan hukuman apabila ditinggalkan.

2. Mandub

Hukum taklifi yang kedua adalah mandub. Mandub adalah sesuatu yang diperintahkan oleh pembuat syariat yang tidak harus dikerjakan.

Orang yang mengerjakan perkara mandub dalam rangka mencari pahala akan mendapatkan pahala, akan tetapi tidak dihukum bila meninggalkannya.

Istilah lain dari Mandub diantaranya ada Sunnah, Masnuun, Mustahab atau Istihbab, Nafl atau Nafilah, Tathawwu’, dan Fadhilah.

3. Haram

Hukum taklifi yang ketiga adalah haram. Haram adalah sesuatu yang dilarang oleh pembuat syariat yang harus ditinggalkan.

Orang yang meninggalkan perkara yang haram karena mengharapkan pahala maka ia akan mendapatkan pahala, sedangkan orang yang melakukannya berhak mendapatkan azab.

4. Makruh

Hukum taklifi yang keempat adalah makruh. Makruh adalah sesuatu yang dilarang oleh pembuat syariat dalam bentuk ketidakharusan.

Seorang yang meninggalkan perkara makruh maka akan diganjar pahala apabila ia melakukannya dalam rangka mematuhi perintah, namun orang yang melanggarnya tidaklah berdosa.

BACA JUGA :   Memahami Tingkatan Sabuk Pagar Nusa yang Harus Kamu Ketahui Sebagai Siswa

5. Mubah

Hukum taklifi yang kelima adalah mubah. Mubah adalah sesuatu yang tidak ada hubungannya dengan perintah dan larangan pada asalnya. Seperti makan, minum, tidur, dan lain sebagainya.

Maksudnya adalah perbuatan yang pada asalnya tidak diperintahkan dan tidak pula dilarang oleh syariat. Hal ini dikarenakan apabila perbuatan tersebut dilatarbelakangi oleh sesuatu yang diperintahkan atau dilarang maka perbuatan tersebut mengikuti hukum yang melatarbelakanginya.

B. Hukum Wadh’i

Pengertian Hukum Wadh’i

Hukum wadh’i adalah ketentuan-ketentuan hukum yang mengatur tentang sebab, syarat, dan sesuatu yang menjadi penghalang untuk melakukan hukum taklifi.

Pembagian Hukum Wadh’i:

1. Sabab

Hukum wadh’i yang pertama adalah sabab yang dalam bahasa indonesia berarti sebab. Secara bahasa sebab adalah sesuatu yang bisa menyampaikan kepada sesuatu yang lain.

Dalam istilah ushul fiqih sebab adalah sesuatu yang dijadikan oleh pembuat syariat sebagai penanda atas keberadaan suatu hukum. Dan ketiadaan sebab adalah penanda ketiadaan suatu hukum.

2. Syarat

Hukum wadh’i yang kedua adalah syarat. Syarat adalah sesuatu yang keberadaan hukum bergantung pada keberadaannya, dan ketiadaannya itu berkonsekuensi tidak adanya hukum.

Namun, keberadaan syarat tidak mengharuskan adanya yang disyaratkan. Misalnya seperti shalat yang disyaratkan untuk wudhu, namun wudhu tidak mengaruskan adanya shalat.

Syarat juga bukan bagian dari yang disyaratkan, akan tetapi ia sesuatu yang berada di luar. Misalnya wudhu adalah syarat untuk melaksanakan shalat, akan tetapi wudhu bukan bagian dari shalat.

3. Mani’

Hukum wadh’i yang ketiga adalah mani’ yang berarti penghalang. Mani’ adalah sesuatu yang mengharuskan ketiadaannya hukum karena keberadaannya, atau batalnya sebab, yang terkadang terwujudnya sebab syar’i,.

Dan terpenuhinya semua syarat-syaratnya tetapi terdapat mani’ yang menyebabkan terhalangnya keberadaan hukum.

Contohnya adalah datangnya haul dan nishab merupakan syarat dan sabab wajibnya menunaikkan zakat. Namun, keberadaan hutang menjadi mani’ (penghalang) wajibnya menunaikkan zakat.

4. Sah dan Batal

Apa yang dimaksud dengan sah? Perbuatan mukallaf ketika syarat telah terpenuhi, mani’ (penghalang) tidak ada, dan adanya suatu sebab perbuatan itu dilakukan maka secara syariat hukumnya sah.

Dengan demikian, sah merupakan perbuatan hukum yang sesuai dengan tuntunan syariat, yaitu terpenuhinya syarat, rukun, sebab dan tidak ada mani’, serta memiliki konsekuensi bagi pelakunya yaitu terbebas dari tanggungan hukum yang menjadi tanggung jawabnya.

5. Azimah dan Rukhshah

Azimah adalah ketentuan asal dari hukum-hukum yang disyariatkan tanpa adanya faktor lain.

Sementara rukhshah adalah ketentuan hukum berupa keringanan bagi mukallaf pada kondisi-kondisi tertentu yang membutuhkan keringan tersebut.

Selain itu, dengan kata lain rukhshah adalah keringanan yang diberikan oleh Allah ta’ala karena adanya alasan syar’i.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *