Membayar Fidyah

Hal yang Perlu Diperhatikan Jika Ingin Bayar Fidyah

Diposting pada

Membayar Fidyah – Fidyah merupakan kewajiban bagi orang yang tidak mampu berpuasa karena alasan tertentu. Dalam Islam, membayar fidyah dapat dengan memberikan makanan atau membayar sejumlah uang kepada orang yang membutuhkan. Namun, sering kali proses pembayaran fidyah menjadi sulit bagi sebagian orang.

Table of Contents

Pengertian Fidyah

Fidyah secara bahasa adalah tebusan. Berdasarkan istilahnya, fidyah adalah denda yang wajib ditunaikan karena meninggalkan kewajiban atau melakukan larangan Allah. Meninggalkan salah satu kewajiban, seperti ibadah puasa ramadhan maka perlu membayar fidyah.

Cara Membayar Fidyah 

Pembayaran fidyah dapat kepada fakir miskin sesuai dengan hari yang bersangkutan tinggalkan, yakni satu fidyah untuk satu hari untuk satu fakir miskin atau juga bisa sekaligus pada satu orang fakir miskin. Misalnya kita meninggalkan puasa 30 hari maka fidyah yang harus kita bayar cukup 30 porsi makanan kepada 30 orang fakir miskin saja. Selain itu, pembay fidyah juga bisa kepada 1 orang miskin saja selama 30 hari lamanya.

Waktu Mengeluarkan Fidyah

1. Menunaikan fidyah, bisa pada hari itu juga ketika tidak melaksanakan puasa, atau berada pada rentang waktu sampai hari terakhir bulan Ramadhan

2. Waktu akhir penunaian fidyah tidak ada batasnya. Menunaikan fidyah tidak harus pada bulan Ramadhan. Pembayaran Fidyah bisa juga pada ba’da Ramadhan. Ayat yang mensyariatkan fidyah yaitu pada (QS. Al-Baqarah: 184) “tidaklah menetapkan waktu tertentu sebagai batasan. Fidyah ditunaikan sesuai kelapangan”.

Alokasi Fidyah

Seperti yang tertera dalam Al-Quran surah Al-Baqarah ayat 184,

“Wajib membayar fidyah, yaitu memberi makan seorang fakir atau miskin. Tetapi barangsiapa dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka itu lebih baik baginya, dan puasamu itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.” 

Syekh Khathib al-Syarbini menjelaskan:

“Boleh mengalokasikan beberapa mud dari fidyah kepada satu orang, sebab masing-masing hari adalah ibadah yang menyendiri, maka beberapa mud diposisikan seperti beberapa kafarat, berbeda dengan satu mud (untuk sehari), maka tidak boleh diberikan kepada dua orang, sebab setiap mud adalah fidyah yang sempurna. Allah telah mewajibkan alokasi fidyah kepada satu orang, sehingga tidak boleh kurang dari jumlah tersebut”. (Syekh Khothib al-Syarbini, Mughni al-Muhtaj, juz 2, hal. 176).

Fidyah dengan Uang

Mayoritas ulama mazhab empat, yaitu Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah, berargumen dengan nash syariat yang secara tegas memerintahkan untuk memberi makanan pokok kepada fakir/miskin, bukan memberikan fidyah dalam bentuk atau jenis lain (Syekh Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqih al-Islami wa Adillatuhu, juz 9, hal. 7156).

Sedangkan menurut Hanafiyah, membayar fidyah boleh  dalam bentuk qimah (nominal) yang setara dengan makanan yang sesuai dengan nash Al-Qur’an atau hadits, misalnya apabila fidyah dalam bentuk uang. Ulama Hanafiyyah cenderung lebih longgar memahami teks-teks dalil agama yang mewajibkan pemberian makan kepada fakir miskin. Menurutnya, maksud pemberian makanan untuk fakir miskin adalah memenuhi kebutuhan mereka, dan tujuan tersebut bisa tercapai dengan membayar qimah (nominal harta) yang sebanding dengan makanan. (Syekh Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqih al-Islami wa Adillatuhu, juz 9, hal. 7156).

Besaran Fidyah 

Fidyah puasa yang lebih tepat dalam masalah ini adalah mengembalikannya pada ‘urf (kebiasaan yang lazim). Dengan demikian dianggaplah telah sah membayar fidyah jika telah memberi makan kepada satu orang miskin untuk satu hari tidak melaksanakan kewaiban tersebut. Lihat Asy-Syarh Al-Mumthi’, 2:30-31.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menetapkan kadar fidyah. Hal yang dapat menjadi patokan adalah kebiasaan yang berlaku di masyarakat. Makanan yang dikeluarkan adalah yang sifatnya pertengahan yang biasa dimakan oleh keluarga sebagaimana ayat yang membicarakan tentang kafarat sumpah

“Yaitu dari makanan yang biasa kamu berikan kepada keluargamu.” (QS. Al-Maidah: 89).”

Kategori orang yang Wajib Membayar Fidyah 

Kamu sedang malas berpuasa dan ingin membayar fidyah saja? Gak bisa dong. Tidak semua orang bisa memilih membayar fidyah saja dan meninggalkan kewajiban berpuasanya. Terdapat beberapa kategori khusus orang-orang yang boleh mengganti puasa Ramadhan dengan membayar fidyah.

Al-Qur’an dengan jelas menyebutkan kriteria-kriteria orang yang berhak membayar fidyah, sebagai berikut:

”(yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu. Maka barangsiapa diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin. Barangsiapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka itulah yang lebih baik baginya. Dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.” (Q.S. Al Baqarah: 184).

BACA JUGA :   Penjelasan Langsung Bulog: Stok Beras Aman, Tidak Dikendalikan Bansos

Para ulama telah menjelaskan lebih rinci tentang kriteria orang-orang yang boleh mengganti puasa Ramadhan dengan membayar fidyah, antara lain:

1. Orang Sakit Parah

Salah satu kategori orang yang wajib membayar fidyah adalah orang yang menderita sakit parah dan kecil kemungkinannya untuk dapat sembuh kembali. Melihat keadaan yang ada dikhawatirkan bahwa orang tersebut tidak dapat mengganti puasanya di hari lain. Dengan demikian, wajib baginya membayar fidyah puasa sesuai jumlah hari puasa yang ia tinggalkan.

Bagi orang yang sedang sakit di bulan Ramadhan dan merasa kesulitan untuk menunaikan kewajiban berpuasa maka boleh untuk berbuka atau tidak berpuasa. Akan tetapi, orang tersebut harus mengganti puasanya di hari lain setelah sembuh dan kondisinya sehat kembali.

2. Orang Tua Renta

Orang yang telah berusia lanjut atau tua renta serta tidak sanggup lagi menunaikan ibadah puasa dapat mengganti puasanya dengan membayar fidyah. Pada kriteria ini seseorang cukup membayar fidyah dan tidak ada kewajiban untuk mengganti puasanya di hari lain.

3. Ibu Hamil dan Menyusui dengan Kondisi Medis Tertentu

Kondisi kesehatan ibu hamil dan menyusui tentu berbeda-beda. Dokter tentunya lebih paham dalam menentukan apakah dengan tetap berpuasa masih aman atau tidak bagi seorang ibu yang sedang hamil atau menyusui. Jika dokter menyarankan untuk tidak berpuasa karena khawatir dapat membahayakan kondisi ibu dan bayinya, maka boleh tidak berpuasa dan menggantinya dengan membayar fidyah.

4. Orang Meninggal

Dalam Fiqih Syafi’i, orang meninggal yang masih meninggalkan utang puasa terbagi menjadi dua golongan, yaitu:

      a) Tidak Wajib Membayar Fidyah.

Kondisi tidak wajib membayar fidyah yaitu bagi orang yang meninggalkan puasa karena uzur dan ia tidak memiliki kesempatan untuk mengqadha, semisal sakitnya berlanjut sampai mati. Pada konteks tersebut tidak ada kewajiban bagi ahli waris perihal puasa yang telah mayit tinggalkan, baik berupa fidyah atau puasa.

      b) Wajib Membayar fidyah.

Kondisi wajib membayar fidyah yaitu orang yang meninggalkan puasa tanpa uzur atau karena uzur, tetapi ia menemukan waktu yang memungkinkan untuk mengqadha puasa. Dengan demikian, wajib bagi ahli waris/wali mengeluarkan fidyah untuk mayit bagi setiap hari puasa yang telah mayit tinggalkan. Sementara itu, biaya untuk pembayaran fidyah berasal dari harta peninggalan mayit. Menurut pendapat ini, melakukan puasa tidak boleh dalam rangka memenuhi tanggungan mayit. Di sisi lain, menurut qaul qadim (pendapat lama Imam Syafi’i), wali/ahli waris boleh memilih di antara dua opsi, membayar fidyah atau berpuasa untuk mayit.

Ketentuan ini berlaku apabila harta peninggalan mayit mencukupi untuk membayar fidyah puasa mayit. Apabila tidak mencukupi, wali/ahli waris tidak ada kewajiban untuk berpuasa maupun membayar fidyah bagi mayit. Namun, hukumnya adalah sunah (Syekh Nawawi al-Bantani, Qut al-Habib al-Gharib, hal. 221-222).

5. Orang yang Mengakhirkan Qadha Ramadhan  

Orang yang menunda-nunda qadha puasa Ramadhan padahal ia memungkinkan untuk segera mengqadha sampai datang Ramadhan berikutnya, maka ia berdosa dan wajib membayar fidyah. Pada konteks ini, fidyah bersifat wajib sebagai ganjaran atas keterlambatan mengqadha puasa Ramadhan.

Syekh Jalaluddin al-Mahalli menjelaskan:

“Orang yang mengakhirkan qadha Ramadhan padahal imkan (ada kesempatan), sekira ia mukim dan sehat, hingga masuk Ramadhan yang lain, maka selain qadha ia wajib membayar satu mud makanan setiap hari puasa yang ditinggalkan, dan orang tersebut berdosa seperti yang disebutkan al-Imam al-Nawawi dalam Syarh al-Muhadzab. Di dalam kitab tersebut, beliau juga menyebut bahwa satu mud makanan diwajibkan dengan masuknya bulan Ramadhan. Adapun orang yang tidak imkan mengqadha, semisal ia senantiasa bepergian atau sakit hingga masuk Ramadhan berikutnya, maka tidak ada kewajiban fidyah baginya dengan keterlambatan mengqadha. Sebab mengakhirkan puasa ada’ disebabkan uzur baginya adalah boleh, maka mengakhirkan qadha tentu lebih boleh”.

Demikian tulisan Artikel ini, semoga informasinya dapat bermanfaat, Terimakasih!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *