Saat itu pada masa kepemimpinan Khalifah Umar bin Khattab, terjadilah Tahun Abu. Semua masyarakat Arab, mengalami masa paceklik yang berat. Hujan yang tak kunjung turun, pepohonan yang mengering, dan tidak terhitung lag hewan yang mati mengenaskan. Tanah tempat berpijak kini sudah hampir menghitam bagaikan abu. Rasa putus asa pun mendera di mana-mana.
Saat itu Umar sang pemimpin menampilkan kepribadiannya sebagai pemimpin yang sebenar benarnya. Keadaan para rakyat di perhatikannya dengan seksama. Dan tanggung jawabnya oun di jalankan sepenuh hati. Setiap hari beliau menginstruksikan para aparatnya untuk menyembelih onta-onta potong lalu disebarkan kepada seluruh rakyat melalui pengumuman. Tak lama kemudian berbondong-bondong lah para rakyat datang untuk memakan makanan tersebut. Semakin pedih hatinya saat melihat kejadian itu, dan rasa kecemasannya kian menjadi tebal. Dengan hati yang gentar, lidah kelunya berkata, “Ya Allah, jangan sampai para umat Muhammad menemui kehancurannya di tangan ini.”
Umar tak makan daging, minyak samin, dan bahkan susu untuk perutnya sendiri. Bukan apa-apa, ia hanya khawatir makanan untuk rakyatnya ini berkurang. Beliau hanya menyantap sedikit roti dengan minyak zaitun. Dan akibatnya perutnya terasa panas, lalu ia berkata kepada pembantunya “tolong kurangilah panas minyak itu dengan menggunakan api”. Minyak pun dimasak, tetapi perutnya bukannya sembuh kini malah perutnya bertambah panas dan berbunyi nyaring. Jika sudah seperti ini, ditabuh perutnya dengan jemari jemarinya seraya berkata, “Berkeronconglah sesukamu, dan kau akan tetap menjumpai minyak ini, sampai para rakyatku bisa kenyang dan hidup dengan wajar.”
Hampir setiap malam hari, Umar bin Khattab melakukan perjalanan secara diam-diam. Dengan ditemani salah seorang sahabatnya Aslam, ia masuk keluar kampung. Ini yang ia lakukan untuk mengetahui bagaimana kehidupan rakyatnya. Umar khawatir akan jika ada hak-hak mereka yang belum di tunaikan oleh aparat pemerintahannya.
Khalifah Umar dan seorang sahabatnya yang bernama Aslam untuk mengunjungi kampung terpencil di sekitar Madinah. Kampung terpencil ini berada di tengah-tengah gurun yang sangat sepi. Langkah Khalifah Umar terhenti ketika ia mendengar suara tangis seorang gadis kecil.
Kemudian mereka mendekati tenda itu untuk memastikan apakah penghuninya membutuhkan bantuan. Setelah dekati, terlihat seorang perempuan tua yang sedang menjerangkan panci di atas tungku api. Dan asap asap itu mengepul-ngepul dari panci, sementara si ibu tua tadi terus saja mengaduk-aduk isi panci tersebut dengan sebuah sendok kayu yang panjang.
Setelah mengucapkan salam, Khalifah Umar meminta izin untuk mendekat.
Mendengar salam Umar, ibu tua itu mendongakan kepalanya seraya menjawab salam Umar. Tetapi setelah itu, ia kembali pada pekerjaannya mengaduk-aduk isi panci itu.
“Siapakah yang menangis di dalam itu?” tanya Umar.
Dengan sedikit acuh, ibu itu menjawab pertanyaanya, “Anakku….”
“Apakah ia sedang sakit?” tanya umar lagi
“Tidak,” jawab si ibu. “Ia kelaparan.” sambungnya
Umar dan Aslam seketika tertegun. Mereka masih tetap duduk di depan kemah ibu tua itu sampai lebih dari satu jam. Namun gadis kecil itu masih terus menangis. Sedangkan ibunya juga masih terus mengaduk-aduk isi pancinya.
Umar yang tidak habis pikir, dan ingin tahu akan apa yang sedang dimasak oleh si ibu tua itu? Karena sudah lama ia memasaknya tetapi masakannya itu tak kunjung matang. Karena tak tahan untuk menunggu, akhirnya Umar bertanya kepada si ibu tua itu, “Apa yang sedang kau masak, wahai Ibu? Kenapa tak kunjung matang-matang juga masakanmu itu?”
Lalu Ibu itu menjawab, “Hmmm, lihatlah sendiri!”
Khalifah Umar dan Aslam melihat isi bejana tersebut. Dan seketika mereka terpelonjak kaget saat melihat isi bejana itu.
” Apakah kau sedang memasak batu?” tanya Khalifah Umar dengansedikit tercengang.
” ya, Aku memasak batu-batu ini untuk menghibur anakku yang kelaparan itu. Inilah kejahatan Khalifah Umar bin Khattab. Dia enggan melihat ke bawah, dan bertanya apakah kebutuhan rakyatnya sudah terpenuhi atau belum,” ujar wanita itu.
Namun, wanita itu tidak tahu siapa yang ada di hadapannya, beliau adalah Khalifah Umar bin Khattab. Setelah mendengar perkataan wanita itu tadi, khalifah umar menitikkan air mata dan segera bangkit dari tempat duduknya itu. Lalu beliau dan Aslam kembali ke Madinah. Sesampainya Khalifah langsung pergi ke Baitul Mal dan mengambil sekarung gandum. ia mengangkat sendiri karung gandum tersebut di punggungnya untuk dimasak, lalu Khalifah pun menyuruh Aslam untuk membantunya memasak gandum ini.
Setelah masakanya matang, Khalifah Umar mendatangi kembali gubuk yang berada di madinah tadi dengam membawa masakkannya tadi, agar keluarga miskin tersebut dapat memakan masakannya. Melihat mereka makan, seketika hati Khalifah Umar terasa tenang. Setelah makanannya habis, Khalifah Umar berpamitan. Sebelumnya dia juga meminta wanita tersebut untuk menemui Khalifah keesokan harinya.
Keesokan harinya, wanita itu pergi untuk menemui Amirul Mukminin. Sungguh betapa terkejutnya si wanita itu saat melihat sosok Amirul Mukminin, yang tidak lain adalah orang yang telah memasakkan makanan untuk dia dan anaknya semalam, wanita tersebut lalu meminta maaf atas kata-kata dzalimnya yang ia katakan padanya semalam dan ibu itu juga mengatakan bahwa dirinya siap untuk di hukum. Lalu khalifah umar menjawab “Ibu tidak bersalah, akulah yang bersalah. Aku telah berdosa karena membiarkan seorang ibu dan anak kelaparan di wilayah kekuasaanku, maafkan aku ibu”.
Khalifah Umar yang memiliki rasa bertanggung jawab untuk melakukan berbagai usaha guna membantu para rakyatnya, termasuk juga mendistribusikan makanan. Makanan dari institusi yang menangani kebutuhan logistik masyarakat tersebut, Umar bagikan sendiri untuk masyarakat yang sangat membutuhkan. Khalifah Umar bin Khattab juga berdoa, memohon pengampunan dan rizki dari Allah SWT, hingga akhirnya hujan turun dan mengakhiri bencana tersebut.
Rasulullah SAW bersabda,
كل واحد منكم هو قائد وسيُسأل كل واحد منكم عما يقود. والإمام (واليول العمري) الذي يحكم الشعب هو القائد ويسأل عن قومه
“Setiap kamu adalah pemimpin dan setiap kamu akan ditanya tentang apa yang dipimpinnya. Imam (waliyul amri) yang memerintah manusia adalah pemimpin dan ia akan ditanya tentang rakyatnya.”
Demikian sedkit kisah Khalifah Umar Bin Khattab dan ibu pemasak batu, semoga dapat kita ambil pelajaran dan hikmahnya.
Sekian dari kami, wassalammualaikum wr wb.